Green School Festival di Kota Malang
AWAL MULA GSF DI KOTA MALANG
Dengan diresmikannya “Haba Ecopark” di SMPN 8 Malang oleh Walikota
Malang H. Moch Anton pada hari Rabu, 31 Desember 2014, maka berakhirlah
seluruh rangkaian panjang kegiatan Green School Festival 2014. Haba
Ecopark ini menjadi hadiah bagi juara-juara satu di kegiatan Green
School Festival, berupa sebuah taman miniatur siklus ekologi di alam, di
mana di dalamnya terdapat rangkaian mata rantai ekosistem, khususnya
untuk ekosistem kupu-kupu dan capung. Di dalam ecopark ini dibangun
kolam lengkap dengan tanaman air dan batu-batuan alam yang menjadi
habitat bagi capung, ditanam tumbuhan-tumbuhan penghasil nektar sebagai
makanan bagi kupu-kupu, dan beberapa tanaman yang disukai kupu-kupu
untuk bertelur dan menjadi makanan bagi ulat kupu-kupu. Diharapkan
Ecopark ini bisa menjadi media pembelajaran lingkungan hidup bagi
siswa-siswa sekolah. Ecopark ini didesain dan dikerjakan oleh Andik
Gondrong, seorang aktifis lingkungan hidup, mantan Ketua Umum pencinta
alam Mapalipma IPM, yang saat ini sedang menggarap program konservasi
berupa restorasi tanaman lokal di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru.
Peresmian Haba Ecopark SMPN 8 Malang oleh walikota Malang H. Moch. Anton
Green
School Festival sendiri menjadi sebuah rangkaian kegiatan lingkungan
hidup yang dalam dua tiga bulan ini banyak menghiasi berita di harian
Jawa Pos Radar Malang. Banyak orang bertanya apa sebetulnya Green School
Festival, apakah ini lomba lingkungan hidup, atau festival seni tentang
lingkungan, atau apa? Wajar sekali pertanyaan-pertanyaan seperti itu
muncul di masyarakat, termasuk juga hal ini menjadi pertanyaan di
kalangan para aktifis maupun pegiat lingkungan hidup.
Lahirnya
Green School Festival ini berasal dari tiga sumber inspirasi. Sumber
pertama yaitu keinginan dari Walikota Malang H. Moch. Anton yang
mengharapkan adanya sebuah agenda untuk meningkatkan kualitas lingkungan
hidup sekolah-sekolah di kota Malang, yang disampaikan Walikota kepada
Dinas Pendidikan Kota Malang. Sumber inspirasi kedua yaitu adanya
keinginan dan komitmen dari Jawa Pos Radar Malang untuk bisa menjadi
motor penggerak perubahan masyarakat kota Malang, khususnya dalam bidang
pelestarian lingkungan hidup. Sumber ketiga adalah program dari lembaga
Move Indonesia yang berkeinginan untuk menyebarluaskan metode pemetaan
dan perencanaan pengelolaan lingkungan hidup.
Dari situlah
akhirnya lahir sebuah konsep Green School Festival. Disebut sebagai
“festival”, dan bukan disebut “lomba”, karena memang lomba hanyalah
sebagai bagian kecil dari kegiatan ini, lomba hanya sebagai sebuah
stimulan saja, yang lebih utama adalah pada bagaimana penyebarluasan
metode pemetaan dan perencanaan lingkungan hidup untuk kemudian
dipraktekkan oleh sekolah-sekolah dengan cara menggerakkan segenap
komponen keluarga besar sekolah, dan bagaimana pergerakan-pergerakan itu
bisa saling menginspirasi antara sekolah satu dan lainnya. Itulah ide
dasar dari Green School Festival.
Maka dari itu, yang
menjadi komponen utama dari Green School Festival ini adalah pada metode
pembelajaran lingkungan hidup yang terintegrasi, mudah dipahami, mudah
dipelajari, mudah disebarkan ulang,
having fun (menyenangkan),
dan menimbulkan semangat untuk belajar serta semangat berbagi. Tema
lingkungan hidup selama ini biasanya menjadi tema yang berat, sehingga
tidak banyak orang memiliki minat mempelajarinya. Namun di Green School
Festival dikemaslah metode pembelajaran lingkungan hidup ini dengan cara
yang menarik dan menyenangkan.
Workshop Green School Mapping di Hotel Wisata Tidar
Metode
utama di Green School Festival kami beri judul Green School Mapping.
Sebetulnya ini bukan metode yang sama sekali baru, namun merupakan
gabungan dari beberapa metode yang dirangkum dan dimodifikasi ulang,
disesuaikan dengan kebutuhan segmen peserta belajar. Metode-metode dasar
yang menjadi sumber antara lain: metode
Ecomapping (yang
dikembangkan oleh Gesellschaft fur Internationale Zusammenarbeit, sebuah
lembaga di Jerman yang salah satu fokusnya adalah di bidang pelestarian
lingkungan hidup dunia), metode
Green Map (metode yang diciptakan oleh Wendy Brawer dari Amerika yang kini komunitasnya telah berkembang menjadi komunitas
Green Map internasional), metode
Mapping Analysis
(metode yang menjadi materi perkuliahan di jurusan Teknik Perencanaan
Wilayah Kota), dan dikombinasikan dengan metode permainan anak-anak peta
harta karun.
Jadi bisa disimpulkan metode Green School
Mapping sendiri adalah cara untuk mempetakan masalah dan potensi
lingkungan hidup di area sekolah. Pemetaan masalah dan potensi ini
dibuat dalam 9 buah peta yang berbeda-beda bahasan isunya. Kemudian dari
pemetaan ini dilakukan pembahasan lebih mendetail mengenai apa masalah
ataupun potensi yang ada, lalu dilakukan pembahasan perencanaan aksi apa
yang akan dilakukan untuk mengatasi permasalahan-permasalahan
lingkungan hidup yang terpetakan, ataupun untuk peningkatan dari
potensi-potensi yang sudah ada.
Adapun 9 peta isu yang
dibuat masing-masing membahas mengenai:
Isu energi, isu sampah, isu
polusi udara, isu air dan limbah cair, isu tanah dan kontaminasi kimia,
isu tanaman, isu resiko, isu keindahan, isu edukasi-informasi-inspirasi.
Isu
energi menekankan pada pemetaan bagaimana penggunaan listrik dan bahan
bakar yang hemat, isu sampah menekankan pada pemetaan lokasi-lokasi
rawan sampah dan proses pemilahan serta pengolahan sampah, isu polusi
udara membahas pemetaan lokasi-lokasi yang seringkali mendapatkan polusi
udara maupun bau tidak sedap, isu air dan limbah cair membahas pemetaan
penggunaan air yang tidak hemat dan drainase buangan air, isu tanah dan
kontaminasi kimia menekankan pemetaan area resapan air dan tanah-tanah
yang tercemari sampah maupun limbah kimia, isu tanaman membahas pemetaan
konsep tanaman fungsional yang ditanam di sekolah dan penataannya, isu
resiko membahas tentang resiko lingkungan hidup dan resiko kesehatan
ataupun resiko keselamatan, isu keindahan mengupas tentang pemetaan
suasana dan tampilan sekolah serta penataan area, sedangkan isu
edukasi-informasi-inspirasi membahas pemetaan tentang petunjuk maupun
poster-poster informasi dan himbauan tentang lingkungan hidup yang
dipasang untuk mengedukasi maupun menginspirasi siswa.
Workshop Green School Mapping di Hotel Wisata Tidar
Secara
teknis, setiap sekolah menyiapkan peta sekolah yang digandakan sebanyak
9 peta untuk peta isu dan satu peta untuk peta kesimpulan. Kemudian
dilakukanlah pengamatan, dan pada masing-masing peta isu tersebut
ditandailah area-area di mana terdapat isu yang diamati baik berupa
masalah ataupun potensi, kemudian dilakukan pembahasan mengenai seperti
apa kondisi yang ada, apa penyebabnya, dan di-skoring seberapa berat
masalahnya atau seberapa bagus potensinya, kemudian dibahas rencana aksi
apa yang bisa dilakukan untuk mengatasi permasalahan yang ada. Dari
sembilan peta isu tersebut kemudian dilakukan langkah penyatuan peta
menjadi sebuah peta kesimpulan akhir sebagai gabungan dari semua peta
isu. Barulah kemudian dilakukan langkah-langkah teknis di lapangan
sebagai bentuk pelaksanaan dari rencana aksi yang ditetapkan berdasarkan
pemetaan yang ada.
Mengapa harus dipecah menjadi 9 isu
adalah agar memudahkan pengamatan di lapangan. Satu peta satu isu.
Setiap sekolah perlu membentuk 9 tim pengamatan. Masing-masing isu
diamati oleh satu tim yang terdiri dari guru dan siswa. Dengan panduan
materi yang didapatkan peserta dalam kegiatan
workshop, maka tiap tim peta isu ini dapat melakukan pengamatan dengan tajam dan terukur.
Panitia Green School Festival menyiapkan panduan-panduan berupa buku materi tertulis dan
file-file penunjang berupa
file digital. Selain itu diberikan pembekalan pada sekolah berupa kegiatan
workshop yang dilaksanakan di Hotel Tidar pada tanggal 13-22 Oktober. Dalam
workshop
ini setiap sekolah mengirimkan 4 orang peserta, untuk SD dua orang guru
dan dua siswa, untuk SMP-SMA-SMK satu orang guru dan tiga siswa. Setiap
sekolah mendapatkan
workshop selama satu hari, dan setiap harinya dilakukan workshop untuk sekitar 40 sekolah.
Di dalam
workshop ini dilakukan pematerian mengenai apa itu metode Green School Mapping, dalam bentuk teori dan sekaligus dipraktekkan di lokasi
workshop, mulai dari memetakan, merumuskan, sampai membuat rencana aksi. Kegiatan
workshop
yang diikuti oleh 153 SD, 27 SMP, 12 SMA dan 15 SMK ini, dikemas dengan
metode eksplorasi otak kiri dan otak kanan, diselingi dengan pemutaran
video dan beberapa
game serta
icebreaking yang lucu dan menyenangkan. Peserta
workshop
dengan antusias mengerjakan pemetaan, menuliskan permasalahan dan
potensi lingkungan di atas kertas warna-warni, menggunting, mewarna, dan
menghias peta agar terlihat menarik.
Selepas
workshop, masing-masing peserta utusan sekolah ditugaskan untuk mensosialisasikan apa yang mereka dapat dalam
workhop
kepada guru dan siswa di sekolah masing-masing, kemudian bersama-sama
dengan berbagai komponen sekolah dpraktekkanlah metode Green School
Mapping ini secara utuh. Dari empat orang peserta
workshop per
sekolah, akhirnya mereka mensosialisasikan metode ini ke puluhan, bahkan
ratusan siswa dan guru-guru di sekolahnya. Kemudian warga sekolah
bergerak bersama untuk memetakan 9 isu lingkungan hidup ini, menganalisa
apa masalah-masalah yang terjadi, menskoring seberapa berat masalahnya,
membahas apa rencana aksi yang bisa dilakukan, sampai melakukan tindak
lanjut dari rencana aksi ini.
Proses pembuatan Green School Mapping di sekolah
Hasil
dari peta per isu yang dibuat disatukan dalam sebuah peta kesimpulan.
Peta kesimpulan inilah yang dikumpulkan oleh sekolah-sekolah peserta
kepada panitia Green School Festival di Radar Malang, bersama
bukti-bukti berupa CD dokumentasi foto proses yang dilakukan tiap
sekolah di lapangan selama mereka mengerjakan Green School Mapping. Peta
kesimpulan dan CD dokumentasi inilah yang menjadi bekal awal bagi dewan
juri sebelum melakukan penjurian ke sekolah-sekolah peserta.
Semenjak
tanggal 10 November sampai dengan 22 November 2014, dilakukanlah
penjurian ke sekolah-sekolah peserta. Dibentuk 7 tim juri yang
masing-masing tim terdiri dari 3 orang, dan masing-masing tim juri
setiap harinya melakukan kunjungan penjurian ke 2-3 sekolah. Total
didapatkan 131 SD, 24 SMP, 12 SMA dan 13 SMK yang akhirnya mengumpulkan
persyaratan berupa Peta Kesimpulan dan CD Dokumentasi dan siap untuk
dilakukan penjurian ke sekolah.
Dari proses penjurian di
lapangan, ternyata bisa didapatkan banyak sekali temuan-temuan fakta
yang menarik. Dari total 180 sekolah yang dijuri, terdapat cukup banyak
program-program lingkungan hidup yang inspiratif. Beberapa catatan yang
menarik untuk diperhatikan antara lain:
Untuk isu tanah, terdapat
62 sekolah yang memiliki biopori, dan 35 sekolah yang sudah memiliki
sumur resapan. Di antara sekolah-sekolah tersebut tercatat rekor SMPN 10
memiliki 180 biopori dan 16 sumur resapan, serta SMPN 7 yang memiliki
115 biopori dan 6 sumur resapan. Ada pula sekolah SDN Plus Al-Kautsar
yang mempertahankan 70% ruang terbuka hijau di lahannya.
Sementara
untuk isu air terdapat 30 sekolah yang telah memiliki instalasi
pengolahan air limbah, seperti pengolahan sisa air wudhu yang
dimanfaatkan kembali untuk menyiram tanaman ataupun untuk kolam lele,
adapula yang memiliki pengolahan air limbah laundry seperti di SMKN 2,
maupun pemrosesan air limbah percetakan dan pemanfaatan limbah air AC
untuk menyiram tanaman seperti yang dimiliki oleh SMKN 4, program air
keran langsung minum di SMPN 8 Malang.
Penjurian Green School Mapping
Untuk
isu sampah, terdapat 77 sekolah memiliki program pembuatan kompos
dengan beragam cara, mulai dari penggunaan alat komposting, penggunaan
bakteri mikroorganisme lokal, pengkomposan dengan anaerob, dll. Ada pula
73 sekolah memiliki program produk daur ulang dan daur pakai, sebagai
besar menjad bagian dari mata pelajaran prakarya, ataupun berupa bahan
bekas yang dibuat menjadi alat peraga untuk mata pelajaran biologi
seperti yang dikerjakan oleh SMAN 5 Malang. Demikian pula program Bank
Sampah juga telah diterapkan oleh beberapa sekolah-sekolah peserta Green
School Festival.
Untuk isu tanaman, ada 55 sekolah yang
telah memiliki green house, 28 sekolah memiliki program tanaman
hidroponik, 83 sekolah memiliki kebun tanaman obat keluarga, 20 sekolah
memiliki hutan sekolah, 58 sekolah memiliki tanaman-tanaman penyerap
polutan, 58 sekolah memiliki tanaman sayur organik, dan 108 sekolah
memiliki koleksi tanaman buah.
Terkait dengan isu resiko
dan isu sampah, terdapat 18 sekolah memiliki program kantin bebas
plastik, artinya tidak dijual makanan ataupun minuman yang menimbulkan
sampah plastik. Kemudian terdapat pula 28 sekolah yang memiliki program
kantin bebas 5P (pemanis-pengenyal-pewarna-penyedap-pengawet buatan).
Untuk
isu energi terdapat 6 sekolah yang memiliki program biogas, baik berupa
biogas dari kotoran sapi maupun biogas yang diolah dari limbah kotoran
manusia, seperti yang dimiliki SMAN 10 dan SDN Ketawang Gede, dan
beberapa sekolah memiliki program percontohan solar cell (listrik tenaga
matahari), ada pula program pembatasan penggunaan kendaraan bermotor
seperti yang dilakukan oleh SMAN 7 Malang dan SMAN 4 Malang.
Untuk
pelibatan siswa terkait dengan program menjaga dan melestarikan
lingkungan hidup di sekolah, terdapat 85 sekolah yang memiliki program
satu hari dalam seminggu sebagai hari bersih-bersih, ada pula
sekolah-sekolah yang memiliki program polisi lingkungan hidup, laskar
lingkungan, program buang satu sampah wajib memungut 10 sampah (SMPN 9
Malang), program 5 menit berburu sampah pada jam istirahat (SMAN 9
Malang), modifikasi Green School Mapping menjadi Green Class Mapping
(SMPN 13 Malang), dan lain-lain.
Dan masih banyak lagi
program-program unik dan kreatif yang dilakukan oleh sekolah-sekolah.
Seperti program wirausaha berbasis lingkungan hidup, program pemberian
label nama-nama tanaman dan fungsinya, program ternak cacing, budidaya
lele, budidaya jamur tiram, program penggantian lampu hemat energi, dan
lain-lain.
Dan untuk bisa saling menginspirasi dan saling
memotivasi, dilakukan pula aktivitas kampanye di sosial media, baik
melalui Facebook, Twitter, maupun Instagram. Beberapa sekolah terlihat
cukup aktif dalam menginformasikan perkembangan proses Green School
Mapping di sekolah mereka ini di sosial media, baik oleh siswa maupun
oleh bapak dan ibu gurunya. Hal ini diharapkan bisa memacu
sekolah-sekolah yang lain untuk tidak mau kalah, dan berkreasi lebih
baik lagi.
Namun,
satu hal yang menjadi catatan penting dalam Green School Festival ini,
yaitu dalam event yang berlangsung selama lebih dari dua bulan ini,
lomba di sini bukanlah lomba sekolah terbagus, sekolah terlengkap, lomba
sekolah terbersih ataupun sekolah terindah. Di dalam Green School
Festival kriteria yang memiliki nilai terbesar adalah bagaimana proses
Green School Mapping dapat dipahami dan diterapkan dalam pembuatan peta
isu dan dalam perencanaan perbaikan lingkungan hidup, serta bagaimana
keterlibatan sebanyak mungkin komponen sekolah dalam proses Green School
Mapping ini.
Sekolah-sekolah yang paham dengan metode
ini, justru akan terlihat mencantumkan banyak permasalahan lingkungan di
dalam petanya, sementara sekolah yang tidak paham biasanya akan
menyembunyikan masalah lingkungannya dan menampilkan peta yang
seolah-olah tidak banyak masalah yang ada di sekolahnya. Padahal, untuk
merencanakan pengelolaan lingkungan hidup haruslah dimulai dengan
memetakan dan membedah masalahnya. Di sinilah cukup banyak sekolah yang
salah dalam memahami metode ini. Beberapa sekolah menyembunyikan
masalahnya, ataupun tidak melakukan proses pemetaan secara utuh, yang
seharusnya mereka melakukan pembuatan 9 peta isu terlebih dahulu, baru
membuat peta kesimpulan.
Beberapa sekolah juga masih
memiliki pemahaman yang salah mengenai wujud kecintaan pada satwa,
seperti adanya kandang yang diisi dengan burung-burung hias. Padahal ini
sangatlah tidak tepat dari kacamata pelestarian lingkungan.
Burung-burung hias rumahnya adalah di alam bebas, bukan di dalam
kandang, terkecuali untuk burung-burung peliharaan seperti merpati,
ayam, dan sejenisnya. Beberapa sekolah terpaksa mendapatkan nilai minus
karena hal ini.
Proses aplikasi Green School Mapping di sekolah
Secara
umum, bisa dikatakan bahwa berbagai rangkaian aktivitas Green School
Festival ini memang tidaklah seperti lomba-lomba lingkungan hidup lain
pada umumnya. Hasil fisik akhir kondisi lingkungan hidup di sekolah
tetap dinilai, namun bukanlah yang utama. Hal yang terutama adalah
menekankan pada bagaimana proses pembelajaran materi lingkungan hidup
ini bisa dipahami peserta
workshop dan bisa tersosialisasikan
di sekolah masing-masing, serta bagaimana hal ini bergulir menjadi
sebuah gerakan bersama seluruh komponen sekolah yaitu guru, siswa,
bahkan di beberapa sekolah sampai melibatkan orang tua siswa. Perlu kita
pahami bahwa sebenarnya sumber permasalahan lingkungan hidup yang
terbesar adalah manusia, sedangkan wujud fisik lingkungan hidup yang
bagus ataupun rusak hanyalah dampak dari bagaimana sumber daya manusia
memahami dan mencintai lingkungan hidup. Inilah yang menjadi dasar
berpikir Green School Festival.
Bila kita beracuan dari
data kondisi lingkungan hidup di kota Malang dan sekitarnya, saat ini
sampah yang dihasilkan oleh warga kota Malang sudah mencapai angka 650
ton setiap harinya, sementara untuk kondisi ruang terbuka hijau luasan
yang tersisa di kota ini hanya tinggal 2,89% dari seluruh luasan kota
Malang, sedangkan untuk kondisi sumber air kita dari 873 sumber air di
wilayah Kabupaten Malang kondisi debit airnya kian hari semakin menurun,
belum lagi kejadian hilangnya banyak mata air di kota Batu dari 111
mata air kini tinggal tersisa 54 mata air, dan masih banyak lagi
permasalahan-permasalahan lingkungan hidup yang terus terjadi. Maka itu
pemahaman tentang lingkungan hidup perlu ditanamkan pada seluruh
masyarakat, khususnya disebarluaskan melalui dunia pendidikan, untuk
melahirkan sumber daya manusia generasi-generasi muda terpelajar yang
mencintai dan mau bertindak menyelamatkan lingkungan hidup.
Proses aplikasi Green School Mapping di sekolah
GREEN SCHOOL FESTIVAL MALANG 2017
Sebanyak 190 kepala sekolah tingkat SD-SMP se Kota Malang menghadiri
sosialisasi Green School Festival (GSF) 2017, di aula SMKN 2 Malang pada hari
Jumat 29 September 2017.
Acara dimulai dengan sambutan serta pembukaan
secara simbolik oleh Kepala Dinas Pendidikan (Kadisdik) Kota Malang,
Zubaidah. Disambung dengan pembacaan doa hingga penjabaran materi
presentasi oleh ketua tim juri GSF 2017, Fadilah Putra. Acara yang
telah memasuki tahun ke-4 ini diikuti oleh 273 SD dan 104 SMP se-Kota
Malang. Melalui sambutannya, Zubaidah juga mengingatkan kepada puluhan
peserta tentang 9 isu lingkungan hidup yang menjadi dasar ketegori
perlombaan sekaligus kriteria penilaian.
9 isu tersebut meliputi
: isu energi, sampah, air dan limbah cair, tanaman, keindahan, edukasi dan
informasi, resiko, polusi udara, dan tanah.
Zubaidah berharap,
kegiatan ini bisa meningkatkan kualitas pendidikan di Kota Malang.
Sehingga visi dan misi menjadikan Malang Kota Bermartabat bisa
terealisasi dengan baik. Terbukti dari meningkatnya jumlah sekolah yang
mengikuti lomba adiwiyata meningkat di dua tahun terakhir.
“Kami
merasa ada peningkatan. Alhamdulillah mereka ada perubahan. Memotivasi
juga dalam lomba UKS dan adiwiyata meningkat. Tahun ini sudah ada 19 itu
sudah hebat toh,” ucapnya.